Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Majid terkenal
memiliki tingkat keilmuan yang tinggi. Tentu tidak mudah mengambil keputusan
memberikan gelar pada seseorang. Hanya lantaran hubungan darah atau karena
kecintaannya kepada seseorang. Melainkan adanya ketajaman spiritualitas yang
dimiliki. Almagfurulah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Abdul Majid, pendiri organisasi Nahdlatul Wathan, satu-satunya organisasi yang lahir di NTB, dengan segenap kemampuan beliau membina dan berjuang sehingga perkembangan organisasi tersebut seperti sekarang
ini.
Dari rahim istri-istrinya hanya dikaruniai dua orang putri, Hj. Rauhun dari rahim istrinya Hj. Johariah dan Hj. Siti Raihanun
Zainuddin Abdul Majid (Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan sekarang) terlahir dari wanita keturunan
ulama asal Jenggik Lombok Timur, Hj. Rahmatullah. Dari kedua putri tersebut
terlahir 12 orang cucu laki dan perempuan. Hanya satu
cucu yang dinobatkan dan dipercaya mampu menggantikan perjuangan beliau untuk membesarkan
organisasi NW yang dengan susah payah telah dibangun. Cucunya tersebut adalah Raden Tuan
Guru Bajang K. H. Lalu Gede Muhammad Zainuddin Ats-Tsani. Terlahir dari pasangan Drs. H.
Lalu Gede Wiresentane dan Hj. Siti Raihanun Zainuddin Abdul Majid pada tahun 1981 di
tempat kelahiran kakeknya, Gedeng Dese (Rumah Desa).
Ketika lahir, yang memberikan beliau nama adalah
Maulana Syaikh sendiri dengan nama Zainuddin Ats-Tsani, dengan harapan kelak
kalau sudah dewasa bisa menggaantikan posisi beliau untuk membimbing ummat dan
melanjutkan perjuangan organisasi NW. Istri Maulana Syaikh, Hj. Rahmatullah yang juga nenek Raden Tuan Guru Bajang K. H. Lalu Gede
Muhammad Zainuddin Ats-tsani, menuturkan kisah kelahiran
sosok Raden Tuan Guru Bajang K. H Lalu Gede Muhammad Zainuddin Ats-Tsani. Memiliki keturunan
ulama motivasi awal perkawinan antara Maulana Syaikh dengan istrinya Hj.
Rahmatullah beliau satu-satunya istri yang dipilihkan oleh orang tua Maulana Syaikh,
TGH. Abdul Majid. Karena Hj. Rahmatullah adalah keturuanan seorang ulama dengan
harapan agar keturunannya nanti bisa melahirkan seorang ulama pula.
“Sejak saya berumur 10 tahun, orang tua Tuan
Guru (TGH Abdul Majid) sudah membicarakan dengan orang tua saya untuk
menikahkan saya dengan tuan guru (Maulana Syaikh). Padahal pada saat itu saya tidak pernah
berfikir untuk menikah, saya bilang sama TGH. Abdul Majid bahwa saya tidak akan
menikah sampai tua”, tutur Hj. Rahmatullah. Pada saat Hj. Siti raihanun
mengidam anak-anaknya, nenek Hj. Rahmatullah selalu mendapatkan firasat dan
pertanda bahwa Hj. Raihanun akan hamil.
“Setiap anakku, hamil selalu dijaga sama ular
dan selalu saya bermimpi dan melihat sesuatu”, tuturnya. Namun yang aneh,
katanya, Rden Tuan Guru Bajang K. H Lalu Gede Muhammad Zainuddin Ats-Tsani dia tidak melihat
apa-apa dan tidak dijaga ular seperti cucunya yang lain. Ternyata pertanda
kehamilan itu diketahui oleh Maulana Syaikh, kala itu Maulana Syaikh
memerintahkan dirinya untuk membuka semua jahitan pakaian Hj. Siti raihanun.
“Saya disuruh untuk melepaskan semua jahitan pakaian yang biasa dikenakan Hj. Siti Raihanun untuk disimpan, Raihanun akan hamil tolong lepaskan semua jahitan pakaian yang dikanakannya dan disimpan” tutur Hj. Rahmatullah meniru perkataan Maulana Syaikh. Ketika Raden Tuan Guru Bajang K. H. Lalu Gede Muhammad Zainuddin Ats-Tsani lahir dalam keadaan bersih tanpa darah, Maulana Syaikh langsung menimangnya sambil memperhatikan seluruh badan cucunya. Hal ini berlangsung selama beberapa hari sebelum diberikan nama. Tidak lama kemudian Hj. Rahmatullah dipanggil Maulana Syaikh.
“Saya disuruh untuk melepaskan semua jahitan pakaian yang biasa dikenakan Hj. Siti Raihanun untuk disimpan, Raihanun akan hamil tolong lepaskan semua jahitan pakaian yang dikanakannya dan disimpan” tutur Hj. Rahmatullah meniru perkataan Maulana Syaikh. Ketika Raden Tuan Guru Bajang K. H. Lalu Gede Muhammad Zainuddin Ats-Tsani lahir dalam keadaan bersih tanpa darah, Maulana Syaikh langsung menimangnya sambil memperhatikan seluruh badan cucunya. Hal ini berlangsung selama beberapa hari sebelum diberikan nama. Tidak lama kemudian Hj. Rahmatullah dipanggil Maulana Syaikh.
“Ni wah pengentiq ku, iye taoq jaq turunan
aranku, Zainuddin Ats-Tsani ye jari aranan” (ini sudah yang akan menggantikanku, yang akan menggantikan namaku, namanya Zainuddin Ats-Tsani). Tutur Hj. Rahmatullah lagi-lagi menirukan perkataan Maulana Syaikh kala
itu. Bahkan Maulana Syaikh mempercayakan Raden Tuan Guru Bajang K. H. Lalu Gede
Muhammad Zainuddin Ats-Tsani yang akan mewarisi nama Zainuddin selanjutnya. Keturunan Raden Tuan Guru Bajang K. H. Lalu Gede Muhammad Zainuddin Ats-Tsani yang laki-laki nantinya akan
menjadi Zainuddin Ats-Tsalits (Zainuddin ke tiga) dan seterusnya.
Secara fisikpun antara kakek dan cucu ini bagai
pinah dibelah dua. Selain itu, dalam perjalanan pendidikannya juga sama. Itu
artinya selain secara fisik Raden Tuan Guru Bajang K. H. Lalu Gede Muhammad Zainuddin Ats-Tsani,
juga sama dalam riwayat pendidikan dengan Maulana Syaikh, Maulana Syaikh adalah alumni Madasah
Ash-Shaulatiyah Makkah Al-Mukarramah. Sebelum wafat beliau berpesan agar Raden Tuan
Guru Bajang K. H. Lalu Gede Muhammad Zainuddin Ats-Tsani melanjutkan pendidikannya ke tempat
dirinya mengenyam pendidikan terakhirnya.
Raden Tuan Guru Bajang K. H. Lalu Gede Muhammad Zainuddin
Ats-Tsani tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang konsisten terhadap masalah
keagamaan sebagaimana figur seorang Tuan guru pada umumnya. Meskipun gelar Tuan Guru Bajang (TGB) yang ia sandang, namun tidak pernah menunjukkan rasa sombong pada
setiap orang. Interaksi sosialnya yang tidak pernah membedakan antara eleman
masyarakat yang satu dengan yang lainnya membuat siapa saja yang bertemu
dengannya selalu merasa kagum.